Minggu, 21 April 2013

MEMAHAMI KONSEP HEGEMONI

Kelompok VIII

Memahami konsep hegemoni
A.    Pengertian Hegemoni
            Kata hegeisthai (Yunani) merupakan akar kata dari hegemoni, yang mempunyai pengertian memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasan yang lain. Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno, ‘eugemonia’. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah) saja. Hegemoni dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
            Konsep hegemoni dipopulerkan oleh ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci. Dia membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindak kekerasan. Media dapat menjadi sarana dimana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Proses marjnalisasi wacana ini berlangsung secara wajar, khalayak tidak merasa dimanipulasi oleh media.


B.     Bentuk Hegemoni
Menurut Rene Descartes ada dua bentuk hegemoni, antaralain.
1.      Modernitas
      Modernitas memang ditakdirkan lahir sebagai penakluk. Semangat kelahirannya adalah semangat pemberontakan, pemberontakan terhadap kekuasaan alam dan hegemoni agama. Dengan teknologi sebagai tulang punggung modernitas, alam pun meleleh dari keagungan misteriusnya selama berabad-abad. Alam bisa ‘ditelanjangi’ penemuan demi penemuan ilmiah yang secara gencar terus dilakukan. Manusia Eropa pun mulai menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Modernitas bukan hanya alat-alat teknis, tetapi juga nilai-nilai. Pada level subyek, ia menawarkan otonomi personal.
                  Contoh  hegemoni modernitas yaitu ketika seorang anak dengan usia 7-8 tahun main internet atau pergi ke warnet pada masa sekarang dianggap wajar dan dibiarkan sesukanya untuk mengakses internet. Alasan yang diketahui kebanyakan orangtua adalah bahwa anak mereka menggunakan media internet sebagai sumber belajar yang baru. Padahal di internet banyak hal yang seharusnya tidak anak usia 7-8 tahun ketahui. Memang anak-anak tersebut tidak sengaja mencari hal-hal yang diluar pengetahuan mereka, akan tetapi hal-hal tersebutlah yang menampakkan diri mereka di internet. Sehingga menarik perhatian anak-anak ini untuk membuka dan mengetahui apa sesungguhnya hal tersebut. Nah, pada contoh ini orangtua telah terhegemoni terhadap teknologi baru yang canggih. Tanpa mereka sadari bahwa ada hal-hal lain yang dapat diakibatkan oleh bebasnya anak-anak mereka mengakses internet. Mereka hanya mengetahui bahwa internet bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.

2.      Tradisi
      Tradisi sebagai penjaga gawang nilai dan gaya hidup komunitas target tidak terima dengan gaya sapu bersih ini. Dengan segala kekuatan, tradisi bangkit melancarkan perlawanan. Benturanpun tak terelakkan. Pertarungan terjadi di setiap jengkal kehidupan. Tradisi tidak rela alam yang memabukkan dengan indah panorama pegunungan, desir angin yang musikal, deburan ombak yang penuh inspirasi, hendak dirubah modernitas menjadi kalkulasi berapa kekayaan tambang yang bisa dikeruk, berapa energi listrik yang bisa diolah, berapa ton ikan yang bisa ditangkap. Tradisi tidak mau, agama digantikan oleh musik atau sepakbola.
      Contoh hegemoni tradisi yaitu adanya pihak-pihak yang menentang akan bebasnya menggunakan pakaian yang hanya menutupi bagian dada sampai perut. Pihak-pihak yang memiliki hegemoni tradisi, mereka akan menyampaikan bahwa berpakaian yang hanya menutupi bagian dada sampai perut itu tidak sopan, menentang syariat ajaran agama, mudah sakit karena masuk angin, dan merendahkan diri sendiri. Mereka akan mengatakan apalah artinya mengikuti trend kalau nyatanya kita harus meninggalkan ajaran syariat agama kita. Jadi, hegemoni tradisi akan mempertahankan budaya dan nilai-nilai yang mereka percayai tanpa harus mengikuti kemajuan jaman yang jauh dari budaya dan nilai-nilai yang telah mereka anut.

C.    Fungsi Hegemoni
1.      Menggerakkan negara-negara lain yang power-nya lebih kecil untuk dijadikan alat dalam mencapai kepentingaan negara-negara yang lebih kuat.
2.      Mendominasikan suatu ideologi tanpa ada perlawanan dan tanpa disadari.

D.    Keterkaitan Hegemoni dan Bahasa
            “Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskandalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

            Berdasarkan pemikiran Gramsci ini dapat dijelaakan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi oleh kelompok penguasa tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang wajar.       Bahasa sebagai alat komunikasi, sering digunakan sebagai alat untuk melakukan penghegemonian bukan dengan tindak kekerasan. Melalui suatu wacana, bahasa diolah untuk menekankan kesadaran moral, dimana seseorang disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan merasa dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela.
            Bahasa juga menjadi unsur dramatisasi dalam pemberitaan, agar pihak dominan atau ideologi yang disampaikan dapat diterima tanpa disadari. Menutut John Piske, kerja ideologi selalu mendukung kelompok yang mempunyai kekuatan        lebih besar menyebarkan gagasan dan pesannya.
            Berikut penggambaran proses hegemoni bekerja menggunakan bahasa dalam sebuah wacana. Pihak yang dominan (penguasa) membuat suatu wacana yang menganggap bahwa pihak yang dominan ini benar sementara wacana lain dianggap salah. Di sini media secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana suatu wacana yang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi kesepakatan bersama. Sementara wacana lain dipandang sebagai menyimpang.  Misalnya pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang dikembangkan seringkali perlunya pihak buruh musyawarah dan bekerja sama dengan pihak perusahaan tanpa perlu melakukan aksi anarkis yang mengakibatkan kerusakan. Dominasi wacana seperti ini menyebabkan masyarakat berpikiran bahwa pihak buruh selalu dipandang tidak benar. Padahal sebenarnya para buruh melakukan aksi demonstrasi sekedar untuk menagih hak-hak mereka saja. Namun karena adanya hegemoni  maka pihak penguasa (perusahaan) yang lebih dominan dan seakan-akan benar.
            Dalam bahasa Sruart Hall, proses hegemoni itu sendiri bahkan menjadi ritual yang sering kali tidak disadari oleh wartawan sendiri. Sebut misalnya kecenderungan media untuk lebih mewawancarai pengusaha daripada buruh. Suara pengusaha atau pejabat lebih mempunyai nilai berita atau name make news sehingga ketika wartawan lebih mewawancarai pengusaha tidak ada yang aneh, bahkan itu suatu kewajara, hal yang benar. Bahkan sesuai dengan nilai-nilai jurnalistik yang diajarkan kepada wartawan. Para buruh atau pelaku demonstrasi tidak perlu diwawancarai, karena mereka dianggap tidak layak berita.
            Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru, media massa mendapat kontrol yang begitu ketat dari penguasa dan menjadi corong untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan Hegemoni. Seperti pemutaran secara berkala Film peristiwa G 30 S/PKI yang penuh rekayasa dan pembelokan sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi sebagian masyarakat di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi yang menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh masyarakat itu sendiri.
            Ketika memasuki Era reformasi di mana media massa menikmati kebebasannya dan tidak lagi menjadi corong bagi penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa, terutama Televisi, bebas dari kontrol pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa begitulah kira-kira penggambaran dari kondisi media massa saat ini. Meski tidak lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang notaben memiliki beragam kepentingan taruhlah seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
            Contoh hegemoni dibidang ekonomi, pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar, adanya tempat makan fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Masyarakat sudah terbiasa dengan tiga hal yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan alasan modernisasi dan gaya hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket . Dibandingkan berbelanja dipasar atau warung-warung makan biasa. Tanpa mereka sadari berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket sangatlah tidak menguntungkan yang pertama dari segi biaya lebih mahal karena pihak mall atau fastfood atau supermaket memerluka biaya lebih besar, yaitu biaya pajak, gajih karyawan yang banyak, dan sewa tempat yang mahal. Memang benar berbelanja di tiga tempat itu praktis dan simpel, namun khususnya fastfood dari segi kesehatan tidak sehat. Namun, karena kita sudah terhegemoni kita tidak merasakan hal-hal tersebut. Bukankah kita tidak pernah menawar pada harga label yang diterakan oleh pihak mall, fasfood, atau waralaba?. Sedangkan ketika sesekali kita ke pasar, kita menawar semurah-murahnya harga yang para pedagang tawarkan. Kita sudah kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam negeri, kita lebih menyukai produk luar, Disinilah hegemoni bekerja merubah pola pikir kita tanpa kita sadari.
            Contoh hegemoni di bidang politik, dapat kita lihat dari media televisi. Hegemoni melalui media televisi di Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah, media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah. Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan yang ada diawasi oleh pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Sebaliknya, untuk media swasta, seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap  membahayakan posisi pemerintah, segera media itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.
            Dari sini, terlihat bagaimana media massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni politik yang sedang berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi, penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah, khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang berhasil dilancarkan eksekutif orde baru.
            Contoh hegemoni ideologi, sebenarnya dapat kita lihat pada pembahasan sebelumnya tentang ideologi. Namun kami akan memberikan dua contoh ideologi lagi, yang pertama ideologi liberalisme. Pada acara Selebrita In Action di Trans 7. Para pekerja acara Selebrita membuat sebuah video, yang berisikan penghegemonian ideologi liberalisme. Mereka menuliskan Cacian dan makian dari anda pesohor publik sambil menayangkan video beberapa artis yang menolak untuk diwawancara dengan atau tanpa kontak fisik. Menampakkan video betapa besar pejuangan mereka untuk mencari berita dari pagi hingga pagi lagi. Lalu diakhir rekaman mereka menuliskan Kami pembawa fakta bukan pembawa petaka. Nah, disini pihak wartawan atau penyampai berita mendominasi dengan membawa ideologi libaralisme atau kebebasan untuk mencari sebuah fakta. Sedangkan para artis yang menolak wawancara termarjinalkan. Pada rekaman ini pihak selebrita menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan benar, untuk mencari fakta (walaupun kenyataannya tidak selalu fakta yang mereka sampaikan), ini adalah kebebasan mereka untuk mencari berita. Tanpa menjelaskan apa yang menyebabkan para artis menolak wawancara, mungkin mereka lagi lelah habis syuting sampai pagi, mungkin mereka ingin privasi mereka tidak diumbar, atau mungkin mereka sedang pusing atas masalah mereka.
            Kedua ideologi feminisme, dapat kita lihat pada kasus perceraian Kiki Amalia dan Markus Horison. Pada pemberitaan perceraian ini lebih banyak Kiki Amalia yang bicara, dia menyatakan bahwa dia memang seorang istri yang seharusnya mengikuti dimana suami berada. Akan tetapi dia harus berjauhan karena keadaan sudah sangat mendesak, sudah enam bulan tidak ada pemasukkan ekonomi (Markus tidak digajih selama enam bulan), sehinga dia harus kembali ke entertainment dan menetap berjauhan dari suami di Jakarta. Bukannya Kiki membangkang pada suami tetapi keadaan yang mendesak, Kiki bekerja malahan untuk mempertahankan keutuhan keluarganya, untuk makan, dan biaya hidup keluarga kecilnya ini. Perceraian terjadi bukan karena mereka tinggal terpisah, tapi karena Markus sudah seringkali selingkiuh semenjak pernikahan umur dua bulan. Pada berita diatas Kiki Amalia mendominasi pemberitaan menggunakan ideologi feminisme yang membenarkan sewajarnya istri bekerja dan tinggal terpisah dari suami, karena alasan yang mendesak dan untuk mempertahankan kehidupan. Sedangka Markus Horison termarjinalkan dan dikatakan selingkuh dan asal mula terjadi perselingkuhan tidak dijelaskan. Padahal hubungan rumahtangga yang tidak satu atap, sangat mudah untuk dimasukki pihak-pihak lain. Namun, masyarakat menerimanya Markus yang salah, telah selingkuh, dan wajar Kiki menggugat cerai.
  

Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang .

http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/17/hegemoni-2/,

http://www.dimasmuharam.com/perang-kepentingan-metro-tv-tv-one-96
















Rabu, 20 Maret 2013

Prinsip Kerja Sama


            PRINSIP KERJA SAMA    

            Prinsip kerjasama di dalam tindak tutur, dalam hal ini kami  mencoba melakukan penganalisisan terhadap tuturan dalam acara Grand Final IMB di Stasiun Televisi Trans Tv pada tanggal 16 Oktober 2012. Oleh Omesh, Putri Ayu, Adi M.S, Asri Welas, dan Arman Maulana.

Transkrip tuturan Omesh dan Putri Ayu.

Omesh:           Putriii Ayu. .
                        Seperti yang kita ketahui kamu ngefans dengan Sarah Bretmen dari luar                              negeri. Kalau dari Indonesia kamu ngefans sama siapa?
Putri Ayu:       Penyanyi favorit aku banyak seperti Abi Manyu, Gita Gutawa dan masih                            banyak lainnya. (Maksim Kuantitas dan Kualitas)
Omesh:           Jadi kamu suka banget ya dengan dunia seriosa?
Putri Ayu:       Iya. . .( Maksim Kuantitas)
Omesh:           Oke baiklah!
                        Sekarang kita persilahkan Mas Adiii M.S!

Transkrip tuturan oleh Adi M.S dan Putri Ayu.
Adi M.S:        Lagu apa yang akan dibawakan Putri Ayu sekarang?
Putri Ayu:       Kali ini saya akan membawakan lagu Burung Camar. (Maksim Kuantitas dan                                 Kualitas)
Adi M.S:        Ooo burung camar (sambil tepuk tangan) (Maksim Cara)
                        Kamu tau pertama kali burung camar dinyanyikan dimana?
                        (penonton gaduh dan tepuk tangan lagi)

            Pada bagian ini Putri Ayu tidak melaksanakan prinsip kerjasama dengan Mas Adi M.S karena dia tidak menjawab pertanyaan Mas Adi M.S.

Omesh:           Boleh tenang sebentar penonton!
Adi M.S:        Kamu tahu burung camar dinyanyikan oleh siapa?
Putri Ayu:       Setau saya burung camar dinyanyikan oleh Vina Panduwinata (Maksim                              Kualitas)
Adi M.S:        Bagaimana kamu akan menampilkan lagu burung camar ini?
Putri Ayu:       Saya akan membawakan dengan versi saya sendiri (Maksim Kuantitas)
Adi M.S:        Seperti?
Putri Ayu:       Lihat saja penampilan saya nanti.
           
            Pada bagian ini Putri Ayu tidak melaksanakan prinsip kerjasama dengan Mas Adi M.S karena dia tidak menjawab sesuai pertanyaan Mas Adi M.S.

Adi M.S:        Nanti apa konsepnya?  Tolong lebih jelaskan lagi?
Putri Ayu:       Konsepnya, yaaa layaknya kaya diluar, melihat burung-burung camar. Seperti                               itu. (Maksim kuantitas & maksim kualitas).
Adi M.S:        Ooooo. . (Maksim relasi)
Omesh:           Mungkin akan ditambahkan akting sedikit ya? (Maksim relasi)
Putri Ayu:       Iya, dan ada tambahan koreografi sedikit (Maksim Kuantitas)
Omesh:           Nah, banyak sudah banyak kita dapat bocoran. Selanjutnya, silahkan
                        Mba Asri.
Asri:               Kalau asri mau nanya, (penonton gaduh dan tepuk tangan)
Armand:         Mba Asri mau nanya apa sih? Mau ngajak main gitar lagi?
Asri:               BUKAAANNNNNNN. . . (Maksim Kuantitas)
Omesh :          Suaranya seriosa bangeeet. . (Maksim Relasi)
Asri:               Bentar, bentar. (Maksim Relasi)
                        Kalau burung kakaktua siapa yang nyanyi?
Putri Ayu:       Heheee. . .

            Pada bagian ini Putri Ayu tidak melaksanakan prinsip kerjasama dengan Mba Asri Welas,  karena dia tidak menjawab sesuai pertanyaan Mba Asri Welas.

Asri:               Ehh, bercanda, bercanda.  Asriii kan, selalu liat Putri Ayu nyanyi. (Maksim                                    Relasi)
                        Putri ayu kira kira mau jadi kaya siapa?
Putri Ayu:       Aku mau jadi kaya Sarah Bretmen (Maksim Kuantitas & Kualitas)
Omesh:           Mba Asri, mungkin ingin menyumbangkan suaranya seperti seriosa tadi?
Asri:               Oooh, tidak!  Jangan, jangan saya kebnyakan makan cabe tadi.
                                   
            Pada bagian ini Mba Asri Welas tidak melaksanakan prinsip kerjasama dengan Omesh, karena dia menjawab melebihi pertanyaan yang ditanyakan oleh Omesh.

Omesh:           Mas Arman Maulana ingin menambahkan?
Arman:           Saya suka aja Putri Ayu akan membawaakan lagu Burung Camar, yang                                            pertama kali dulu dibawakan oleh Vina Panduwinata. (Maksim Relasi)
                        Berarti putri sekarang akan membawakan dengan cara Putri.
                        Lagu ini pilihan kamu sendiri kan?
Putri Ayu:       Iya. (Maksim Kuantitas & Kualitas)
Arman:           Bukan permintaan juri kemarin kan?
Putri Ayu:       Iya, bukan. (Maksim Kuantitas & Kualitas)
Arman:           Kamu bener awalnya penyanyi pop?
Putri Ayu:       Iya, bener. (Maksim Kuantitas & Kualitas)
Arman:           Sebenarnya,  kamu sekarang,  kamu mau jadi penyayi apa arahnya?
                        Pop,  jazz atau rock atau seriosa?
Putri Ayu:       Kalau saya sih, pengennya jadi penyanyi serba bisa.
           
            Pada bagian ini Putri Ayu tidak melaksanakan prinsip kerjasama dengan Mas Arman Maulana, karena dia tidak menjawab sesuai pertanyaan Mas Arman Maulana.

Arman: (tepuk tangan) Wooww! Penyanyi serba bisa. . . (Maksim Relasi)
Omesh: Baiklah, langsung saja. Kita sambut penampilan Putriii Aaayuu. . !