Kelompok VIII
Memahami
konsep hegemoni
A. Pengertian Hegemoni
Kata hegeisthai (Yunani) merupakan
akar kata dari hegemoni, yang mempunyai pengertian memimpin, kepemimpinan,
kekuasaan yang melebihi kekuasan yang lain. Istilah hegemoni berasal dari
bahasa Yunani Kuno, ‘eugemonia’. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog
untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh
pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada
penguasa negara (pemerintah) saja. Hegemoni dapat didefinisikan sebagai
dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, tanpa ancaman kekerasan,
sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang
didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Konsep hegemoni dipopulerkan oleh
ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci. Dia membangun suatu
teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok dominan berlangsung dalam
suatu proses yang damai, tanpa tindak kekerasan. Media dapat menjadi sarana
dimana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.
Proses marjnalisasi wacana ini berlangsung secara wajar, khalayak tidak merasa
dimanipulasi oleh media.
B. Bentuk Hegemoni
Menurut
Rene Descartes ada dua bentuk hegemoni, antaralain.
1. Modernitas
Modernitas
memang ditakdirkan lahir sebagai penakluk. Semangat kelahirannya adalah
semangat pemberontakan, pemberontakan terhadap kekuasaan alam dan hegemoni
agama. Dengan teknologi sebagai tulang punggung modernitas, alam pun meleleh
dari keagungan misteriusnya selama berabad-abad. Alam bisa ‘ditelanjangi’
penemuan demi penemuan ilmiah yang secara gencar terus dilakukan. Manusia Eropa
pun mulai menancapkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Modernitas bukan hanya
alat-alat teknis, tetapi juga nilai-nilai. Pada level subyek, ia menawarkan
otonomi personal.
Contoh hegemoni modernitas yaitu ketika seorang anak
dengan usia 7-8 tahun main internet atau pergi ke warnet pada masa sekarang dianggap
wajar dan dibiarkan sesukanya untuk mengakses internet. Alasan yang diketahui
kebanyakan orangtua adalah bahwa anak mereka menggunakan media internet sebagai
sumber belajar yang baru. Padahal di internet banyak hal yang seharusnya tidak
anak usia 7-8 tahun ketahui. Memang anak-anak tersebut tidak sengaja mencari
hal-hal yang diluar pengetahuan mereka, akan tetapi hal-hal tersebutlah yang
menampakkan diri mereka di internet. Sehingga menarik perhatian anak-anak ini
untuk membuka dan mengetahui apa sesungguhnya hal tersebut. Nah, pada contoh
ini orangtua telah terhegemoni terhadap teknologi baru yang canggih. Tanpa
mereka sadari bahwa ada hal-hal lain yang dapat diakibatkan oleh bebasnya
anak-anak mereka mengakses internet. Mereka hanya mengetahui bahwa internet
bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
2. Tradisi
Tradisi
sebagai penjaga gawang nilai dan gaya hidup komunitas target tidak terima
dengan gaya sapu bersih ini. Dengan segala kekuatan, tradisi bangkit
melancarkan perlawanan. Benturanpun tak terelakkan. Pertarungan terjadi di setiap
jengkal kehidupan. Tradisi tidak rela alam yang memabukkan dengan indah
panorama pegunungan, desir angin yang musikal, deburan ombak yang penuh
inspirasi, hendak dirubah modernitas menjadi kalkulasi berapa kekayaan tambang
yang bisa dikeruk, berapa energi listrik yang bisa diolah, berapa ton ikan yang
bisa ditangkap. Tradisi tidak mau, agama digantikan oleh musik atau sepakbola.
Contoh
hegemoni tradisi yaitu adanya pihak-pihak yang menentang akan bebasnya
menggunakan pakaian yang hanya menutupi bagian dada sampai perut. Pihak-pihak
yang memiliki hegemoni tradisi, mereka akan menyampaikan bahwa berpakaian
yang
hanya menutupi bagian dada sampai perut itu tidak sopan, menentang syariat
ajaran agama, mudah sakit karena masuk angin, dan merendahkan diri sendiri.
Mereka akan mengatakan apalah artinya mengikuti trend kalau nyatanya kita harus
meninggalkan ajaran syariat agama kita. Jadi, hegemoni tradisi akan
mempertahankan budaya dan nilai-nilai yang mereka percayai tanpa harus mengikuti
kemajuan jaman yang jauh dari budaya dan nilai-nilai yang telah mereka anut.
C. Fungsi Hegemoni
1. Menggerakkan
negara-negara lain yang power-nya lebih kecil untuk dijadikan alat dalam
mencapai kepentingaan negara-negara yang lebih kuat.
2. Mendominasikan
suatu ideologi tanpa ada perlawanan dan tanpa disadari.
D. Keterkaitan Hegemoni dan Bahasa
“Sebuah
pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep
tentang kenyataan disebarluaskandalam masyarakat baik secara institusional
maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral,
prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Berdasarkan pemikiran Gramsci ini
dapat dijelaakan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas
nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang
akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi oleh kelompok penguasa tidak merasa ditindas dan merasa
itu sebagai hal yang wajar. Bahasa
sebagai alat komunikasi, sering digunakan sebagai alat untuk melakukan
penghegemonian bukan dengan tindak kekerasan. Melalui suatu wacana, bahasa
diolah untuk menekankan kesadaran moral, dimana seseorang disadarkan lebih dulu
akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan merasa
dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela.
Bahasa juga menjadi unsur
dramatisasi dalam pemberitaan, agar pihak dominan atau ideologi yang disampaikan
dapat diterima tanpa disadari. Menutut John Piske, kerja ideologi selalu
mendukung kelompok yang mempunyai kekuatan lebih
besar menyebarkan gagasan dan pesannya.
Berikut penggambaran proses hegemoni
bekerja menggunakan bahasa dalam sebuah wacana. Pihak yang dominan (penguasa)
membuat suatu wacana yang menganggap bahwa pihak yang dominan ini benar
sementara wacana lain dianggap salah. Di sini media secara tidak sengaja dapat
menjadi alat bagaimana suatu wacana yang dominan itu disebarkan dan meresap
dalam benak khalayak sehingga menjadi kesepakatan bersama. Sementara wacana
lain dipandang sebagai menyimpang. Misalnya
pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang dikembangkan seringkali
perlunya pihak buruh musyawarah dan bekerja sama dengan pihak perusahaan tanpa
perlu melakukan aksi anarkis yang mengakibatkan kerusakan. Dominasi wacana
seperti ini menyebabkan masyarakat berpikiran bahwa pihak buruh selalu
dipandang tidak benar. Padahal sebenarnya para buruh melakukan aksi demonstrasi
sekedar untuk menagih hak-hak mereka saja. Namun karena adanya hegemoni maka pihak penguasa (perusahaan) yang lebih
dominan dan seakan-akan benar.
Dalam bahasa Sruart Hall, proses
hegemoni itu sendiri bahkan menjadi ritual yang sering kali tidak disadari oleh
wartawan sendiri. Sebut misalnya kecenderungan media untuk lebih mewawancarai
pengusaha daripada buruh. Suara pengusaha atau pejabat lebih mempunyai nilai
berita atau name make news sehingga
ketika wartawan lebih mewawancarai pengusaha tidak ada yang aneh, bahkan itu
suatu kewajara, hal yang benar. Bahkan sesuai dengan nilai-nilai jurnalistik
yang diajarkan kepada wartawan. Para buruh atau pelaku demonstrasi tidak perlu
diwawancarai, karena mereka dianggap tidak layak berita.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru,
media massa mendapat kontrol yang begitu ketat dari penguasa dan menjadi corong
untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan Hegemoni. Seperti pemutaran
secara berkala Film peristiwa G 30 S/PKI yang penuh rekayasa dan pembelokan
sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi sebagian masyarakat
di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi yang
menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh
masyarakat itu sendiri.
Ketika memasuki Era reformasi di
mana media massa menikmati kebebasannya dan tidak lagi menjadi corong bagi
penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa, terutama
Televisi, bebas dari kontrol pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya
masuk ke mulut singa begitulah kira-kira penggambaran dari kondisi media massa
saat ini. Meski tidak lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa
tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh
segelintir orang yang notaben memiliki beragam kepentingan taruhlah seperti
kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Contoh hegemoni dibidang ekonomi,
pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar, adanya tempat makan
fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Masyarakat sudah terbiasa dengan
tiga hal yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan alasan modernisasi dan gaya
hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall,
fastfood/waralaba, dan supermaket . Dibandingkan berbelanja dipasar atau
warung-warung makan biasa. Tanpa mereka sadari berbelanja di
mall, fastfood/waralaba, dan supermaket sangatlah tidak menguntungkan yang
pertama dari segi biaya lebih mahal karena pihak mall atau fastfood atau
supermaket memerluka biaya lebih besar, yaitu biaya pajak, gajih karyawan yang
banyak, dan sewa tempat yang mahal. Memang benar berbelanja di tiga tempat itu
praktis dan simpel, namun khususnya fastfood dari segi kesehatan tidak sehat.
Namun, karena kita sudah terhegemoni kita tidak merasakan hal-hal tersebut.
Bukankah kita tidak pernah menawar pada harga label yang diterakan oleh pihak
mall, fasfood, atau waralaba?. Sedangkan ketika sesekali kita ke pasar, kita
menawar semurah-murahnya harga yang para pedagang tawarkan. Kita sudah
kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam negeri, kita lebih menyukai
produk luar, Disinilah hegemoni bekerja merubah pola pikir kita tanpa kita
sadari.
Contoh hegemoni di bidang politik,
dapat kita lihat dari media televisi. Hegemoni melalui media televisi di
Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah,
media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah.
Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi
Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan
yang ada diawasi oleh pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang
menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat
untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Sebaliknya, untuk media swasta,
seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit
di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap membahayakan posisi pemerintah, segera media
itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke
penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa
hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.
Dari sini, terlihat bagaimana media
massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni politik yang sedang
berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya
bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi,
penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah,
khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era
reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa
masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan
terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas
masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang berhasil
dilancarkan eksekutif orde baru.
Contoh hegemoni ideologi, sebenarnya
dapat kita lihat pada pembahasan sebelumnya tentang ideologi. Namun kami akan
memberikan dua contoh ideologi lagi, yang pertama ideologi liberalisme. Pada acara
Selebrita In Action di Trans 7. Para
pekerja acara Selebrita membuat
sebuah video, yang berisikan penghegemonian ideologi liberalisme. Mereka
menuliskan Cacian dan makian dari anda
pesohor publik sambil menayangkan video beberapa artis yang menolak untuk
diwawancara dengan atau tanpa kontak fisik. Menampakkan video betapa besar
pejuangan mereka untuk mencari berita dari pagi hingga pagi lagi. Lalu diakhir
rekaman mereka menuliskan Kami pembawa
fakta bukan pembawa petaka. Nah, disini pihak wartawan atau penyampai
berita mendominasi dengan membawa ideologi libaralisme atau kebebasan untuk
mencari sebuah fakta. Sedangkan para artis yang menolak wawancara
termarjinalkan. Pada rekaman ini pihak selebrita menyatakan bahwa apa yang
mereka lakukan benar, untuk mencari fakta (walaupun kenyataannya tidak selalu
fakta yang mereka sampaikan), ini adalah kebebasan mereka untuk mencari berita.
Tanpa menjelaskan apa yang menyebabkan para artis menolak wawancara, mungkin
mereka lagi lelah habis syuting sampai pagi, mungkin mereka ingin privasi
mereka tidak diumbar, atau mungkin mereka sedang pusing atas masalah mereka.
Kedua ideologi feminisme, dapat kita
lihat pada kasus perceraian Kiki Amalia dan Markus Horison. Pada pemberitaan
perceraian ini lebih banyak Kiki Amalia yang bicara, dia menyatakan bahwa dia
memang seorang istri yang seharusnya mengikuti dimana suami berada. Akan tetapi
dia harus berjauhan karena keadaan sudah sangat mendesak, sudah enam bulan
tidak ada pemasukkan ekonomi (Markus tidak digajih selama enam bulan), sehinga
dia harus kembali ke entertainment dan menetap berjauhan dari suami di Jakarta.
Bukannya Kiki membangkang pada suami tetapi keadaan yang mendesak, Kiki bekerja
malahan untuk mempertahankan keutuhan keluarganya, untuk makan, dan biaya hidup
keluarga kecilnya ini. Perceraian terjadi bukan karena mereka tinggal terpisah,
tapi karena Markus sudah seringkali selingkiuh semenjak pernikahan umur dua
bulan. Pada berita diatas Kiki Amalia mendominasi pemberitaan menggunakan
ideologi feminisme yang membenarkan sewajarnya istri bekerja dan tinggal
terpisah dari suami, karena alasan yang mendesak dan untuk mempertahankan
kehidupan. Sedangka Markus Horison termarjinalkan dan dikatakan selingkuh dan
asal mula terjadi perselingkuhan tidak dijelaskan. Padahal hubungan rumahtangga
yang tidak satu atap, sangat mudah untuk dimasukki pihak-pihak lain. Namun,
masyarakat menerimanya Markus yang salah, telah selingkuh, dan wajar Kiki
menggugat cerai.
Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS
Printing Cemerlang .
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/17/hegemoni-2/,
http://www.dimasmuharam.com/perang-kepentingan-metro-tv-tv-one-96